TIMES SINGAPORE, JAKARTA – Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol makin gigih membela tindakannya dalam mengumumkan darurat militer yang mendapat banyak kecaman itu.
Yoon Suk-yeol merasa yakin bahwa pengumuman darurat militer yang disampaikan pda 3 Desember 2024 lalu itu benar. Ia menyampaikan pernyataan tersebut dalam pidato nasional yang disampaikan dengan tergesa-gesa pada hari Kamis.
Kini ia bahkan terang-terangan menyalahkan oposisi atas kekacauan. Partai oposisipun lantas mempertanyakan kondisi mental Yoon, dan menyebutnya 'berbahaya'
Yoon Suk Yeol gigih membenarkan darurat militer yang diberlakukan waktu itu meski hanya berjalan dalam waktu singkat yakni enam jam karena ditentang parlemennya.
Ia menyebut dalam sebuah pidatonya bahwa darurat militer yang diumumkannya itu sebagai tindakan pemerintahan yang tegas. Karena itu Ia tidak akan tunduk pada penyelidikan atau peninjauan yudisial, karena menurutnya tindakannya itu bukan pemberontakan.
Ia juga menegaskan akan melawan pemakzulan atau penyelidikan, dan menegaskan bahwa ia tidak akan menerima "pengunduran diri secara tertib" seperti diminta oleh partai penguasa.
Kegigihan Yoon Suk-yeol mencuat sembilan hari setelah ia mengeluarkan dekrit darurat militer dan dua hari sebelum pemungutan suara untuk pemakzulannya kali kedua di Majelis Nasional, Sabtu besok.
Pemungutan suara pertama Sabtu lalu gagal, tidak memenuhi kuorum, karena anggota parlemen dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang berkuasa memboikotnya.
Cegah Runtuhnya Tatanan Nasional
Presiden Yoon Suk-yeol mengatakan, dia mengeluarkan perintah darurat militer kala itu untuk mencegah runtuhnya demokrasi bebas dan tatanan konstitusional serta menormalkan fungsi negara.
Dalam pidatonya yang berdurasi sekitar 29 menit dan direkam sebelumnya pada pagi hari, Yoon mengatakanz bahwa ia menggunakan hak presiden untuk menyatakan darurat militer guna melindungi dan memulihkan tatanan konstitusional yang demokratis dan menormalkan urusan negara.
"Dengan melakukan itu, saya ingin memberi tahu publik tentang krisis kemerosotan negara kita," tegasnya.
Karena dekrit itu adalah keputusan politik presiden, Yoon mengatakan kalau ada pendapat yang mendefinisikan tindakannya sebagai pemberontakan, justru itu yang akan membahayakan Konstitusi dan sistem hukum.
Ia juga menepis atas tuduhan bahwa itu makar. "Mana mungkin ada pemberontakan selama dua jam? Apakah mengerahkan sejumlah kecil pasukan untuk menjaga ketertiban itu termasuk pemberontakan?" tegasnya dengan nada tanya.
Yoon tegas menolak untuk mengundurkan diri, bahkan ia bersumpah untuk berjuang sampai saat-saat terakhir melawan pemakzulan dan penyelidikan darurat militer. Disisi lain ia mengatakan tidak akan menghindari tanggung jawab hukum atau politik.
"Entah saya dimakzulkan atau diselidiki, saya akan hadapi konsekuensinya. Saya akan berjuang bersama rakyat sampai titik darah penghabisan. Sekali lagi saya minta maaf kepada rakyat yang mungkin terkejut dan gelisah karena darurat militer," kata Yoon.
Yoon mengatakan, tentara yang bertindak di bawah darurat militer membobol Komisi Pemilihan Umum Nasional (KPU), dengan alasan kecurigaannya bahwa KPU rentan terhadap peretasan dan manipulasi hasil pemilu, terutama karena lembaga tersebut tidak bekerja sama dengan inspeksi terkait sistemnya.
Hal ini menegaskan kecurigaannya tentang konspirasi yang melibatkan kecurangan pemilu. Ia menghabiskan sebagian besar pidatonya dengan menyalahkan partai-partai oposisi karena berupaya menggulingkan pemerintahannya.
Ia juga mengklaim bahwa upaya oposisi yang tak terus menerus mengajukan mosi pemakzulan terhadap pejabat-pejabat penting pemerintah serta jaksa-jaksa senior, justru itulah yang telah menyebabkan ia mengeluarkan pengumuman darurat militer.
Ia merujuk pada proses pemakzulan yang dilakukan pihak oposisi terhadap kepala lembaga pengawas penyiaran, kepala auditor negara, dan jaksa senior, yang semuanya menurutnya telah sangat merusak integritas layanan publik dan prinsip-prinsip dasar keadilan.
"Melalui berbagai upaya pemakzulan yang berlebihan, partai-partai oposisi telah melumpuhkan pemerintahan. Majelis Nasional yang dikendalikan oposisi telah menjadi kekuatan destruktif yang merusak tatanan konstitusional demokrasi bebas," tambah Yoon.
Ia menuduh partai-partai oposisi membahayakan keamanan nasional dan stabilitas sosial, dengan menyatakan bahwa mereka menghalangi pengesahan revisi undang-undang antimata-mata dan berupaya menghapus Undang-Undang Keamanan Nasional.
Yoon juga mengatakan, pihak oposisi tengah berupaya agar ia dimakzulkan agar pemimpin oposisi utama Partai Demokratik Korea (DPK) Lee Jae-myung menjadi presiden berikutnya.
Lee terancam hukuman atas tuduhan terkait pelanggaran hukum pemilu dan pelanggaran lainnya.
"Pemimpin partai oposisi utama akan segera dijatuhi hukuman, dan mereka berusaha menghindarinya dengan memakzulkan presiden dan menyelenggarakan pemilu lebih awal. Mereka berusaha merebut kekuasaan dengan menghancurkan sistem dan menutupi kejahatan mereka. Bukankah ini pelanggaran Konstitusi yang jelas?" katanya lagi.
Yoon Suk-yeol menghadapi pemungutan suara pemakzulan kedua pada pukul 5 sore hari Sabtu besok, seminggu setelah upaya pertama untuk melengserkannya gagal karena sebagian besar anggota parlemen dari PPP memboikot pemungutan suara.
Pidato Yoon Dikecam
Partai-partai oposisi mengecam pidato Yoon, dan banyak yang mempertanyakan kondisi mental presiden. "Pernyataan Presiden Yoon mengungkap keadaan pikirannya yang delusi," kata Kim Min-seok dari DPK dalam konferensi pers.
"Dia mencoba menghasut kerusuhan pro-Yoon oleh pasukan sayap kanan dan secara terbuka memerintahkan penghancuran bukti bagi mereka yang terlibat dalam operasi darurat militer. Tindakan yang perlu diambil oleh negara dan Majelis sekarang adalah pemakzulan yang 'tertib'," katanya.
Partai oposisi kecil, Partai Pembangunan Kembali Korea (RKP) juga menyerukan agar pemakzulan segera disahkan.
"Yoon harus segera diskors dari tugasnya. Dia orang yang berbahaya dan jika dia merasa tidak dapat menghindari pemakzulan, dia mungkin akan melakukan sesuatu yang gila," kata Hwang Un-ha, pemimpin DPR RKP, dalam sebuah konferensi pers.
"Unit investigasi gabungan yang terdiri dari Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi, polisi, dan kementerian pertahanan perlu segera menangkap Yoon, penjahat pemberontakan," tambahnya.
Ketua Majelis Woo Won-shik sekali lagi mengusulkan pembicaraan bipartisan untuk membahas masalah terkait pemakzulan Yoon.
"Menetapkan darurat militer untuk memperingatkan Majelis Nasional sama sekali tidak dapat diterima dalam demokrasi konstitusional karena hal itu mengirimkan pesan yang salah bahwa boleh saja menghancurkan tatanan konstitusional untuk tujuan politik dan bahwa hak-hak dasar rakyat dapat digunakan untuk tujuan politik," kata Woo.
NEC mengeluarkan pernyataan pada hari Kamis, yang menyebut pengerahan pasukan ke gedungnya di bawah darurat militer sebagai "inkonstitusional dan melanggar hukum."
"Pengadilan menegaskan bahwa klaim tentang kecurangan pemilu tidak berdasar. Menimbulkan kecurigaan adanya kecurangan pemilu karena keraguan yang kuat sama saja dengan menyangkal sistem manajemen pemilu yang digunakan untuk memilih dia (Yoon) sebagai presiden," kata NEC.
Tapi Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol gigih menyatakan bahwa tindakannya mengumumkan darurat militer itu benar meski mendapat banyak kecaman. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Presiden Korea Selatan Gigih Perjuangkan Alasannya Berlakukan Darurat Militer
Writer | : Widodo Irianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |