https://singapore.times.co.id/
Coffee TIMES

Mahkamah Agung Abai terhadap Eksistensi Hukuman Rehabilitasi

Monday, 31 July 2023 - 18:33
Mahkamah Agung Abai terhadap Eksistensi Hukuman Rehabilitasi Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH. Ahli Hukum Narkotika, KA BNN RI 2012-2015.

TIMES SINGAPORE, JAKARTA – Selama 14 tahun berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, Mahkamah Agung abai terhadap hukuman rehabilitasi sebagai hukuman pengganti penjara bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagi penyalah guna bagi diri sendiri.

Eksistensi hukuman rehabilitasi tersebut melekat pada kewenangan hakim berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dimana hakim dalam memeriksa perkara pecandu diberi kewenangan UU untuk memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi sebagai ganti pemenjaraan.

APA ITU PERKARA PECANDU? 

Perkara pecandu adalah PERKARA ORANG MENGGUNAKAN NARKOTIKA  atau MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (PASAL 1/15).

Maknanya setiap pengguna atau penyalah guna narkotika adalah seorang pecandu kecuali bila secara tidak sengaja menggunakan atau menyalahgunakan narkotika karena ditipu, dibujuk, dirayu, diperdaya atau dipaksa menggunakan narkotika.

Dalam memeriksa perkara orang menggunakan narkotika atau menyalahgunakan narkotika, hakim wajib memperhatikan secara medis taraf ketergantungan narkotika nya secara fisik maupun psikis.

Selama ini dalam memeriksa perkara orang menggunakan narkotika atau menyalahgunakan narkotika , hakim hakim tidak memedomani UU narkotika bahkan berstandart ganda dalam menjatuhkan hukuman, sebagian besar hakim berpedoman pada KUHAP, KUHP dan yurisprudensi kemudian menjatuhkan hukuman penjara.

Sebagian hakim memedomani UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 dalam mengadili orang menggunakan narkotika atau menyalahgunakan narkotika  bagi diri sendiri, kemudian menjatuhkan hukuman untuk menjalani rehabilitasi.

Dampaknya, terjadi diskriminasi bentuk hukuman terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, sebagian dihukum menjalani rehabilitasi, sebagian di hukum penjara.

KEKHUSUSAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Kekhususan hukum narkotika secara ekplisit termaktup dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika bahwa penyalah guna narkotika bagi diri sendiri adalah pelaku kejahatan dengan predikat menderita sakit kecanduan narkotika.

Kebijakan hukum dalam menanggulangi masalah kriminal sakit tersebut:adalah mengutamakan  penyalahguna narkotika secara sukarela diwajibkan UU untuk melaporkan diri ke rumah sakit atau lembaga rehabilitasi guna mendapatkan perawatan atas sakit yang dideritanya sekaligus menggugurkan status pidananya.

Kalau tidak bersedia melaporkan diri secara sukarela, maka "dapat" ditangkap, disidik, dituntut, diadili dan hakim yang mengadili diwajibkan UU untuk memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi secara paksa sebagai hukuman pengganti pidana penjara.

Eksistensi hukuman rehabilitasi melekat pada kewenangan hakim dalam memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi diatur dalam pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Hukuman rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim tersebut, BUKAN sebagai bentuk pengekangan kebebasan, melainkan bentuk pemaksaan karena penyalah guna narkotika mengabaikan kewajiban secara sukarela untuk melakukan rehabilitasi melalui wajib lapor pecandu.

Tempat menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim, dilaksanakan di lembaga rehabilitasi atau rumah sakit dan puskesmas milik pemerintah yang berjumlah 918 yang SUDAH ditunjuk sebagai IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor)  yang tersebar diseluruh indonesia.

Sayang, Mahkamah Agung sampai detik ini belum pernah mengeluarkan aturan tentang hukuman rehabilitasi sebagai pengganti hukuman pidana untuk pedoman hakim dalam mengadili perkara penyalahgunaan narkotika

Agar BERANI menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap terdakwa yang terbukti bersalah sebagai penyalah guna bagi diri sendiri.

Dan BERANI menetapkan penyalah guna narkotika bagi diri sendiri untuk menjalani rehabilitasi bila yang bersangkutan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri.

KEGAMANGAN hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi dan lebih percaya diri menjatuhkan hukuman penjara, disebabkan tidak adanya aturan pelaksanaan tentang hukuman rehabilitasi sebagai pengganti hukuman penjara,  sedangkan yurisprudensinya menyatakan penyalah guna narkotika dijatuhi hukuman penjara. 

Masalahnya, Yurisprudensi tersebut bertentangan dengan cita cita dan tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dan putusan hakim menjatuhkan hukuman penjara melanggar hak asasi untuk sembuh dari sakit yang dideritanya serta terjadinya anomali lapas dan menghamburkan sumber daya penegakan hukum.

DISKRIMINASI HUKUMAN

Dalam praktik pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika, mayoritas penyalah guna diposisikan sebagai pengedar, dituntut secara komulatif atau subsidiaritas dengan pengedar dan dilakukan penahanan serta diadili dan dijatuhi hukuman penjara.

Padahal dalam UU narkotika secara khusus mengatur hakim yang memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika (pasal 127/1), hakim wajib (pasal 127/2) mengetahui kondisi kecanduan penyalah gunanya (pasal 54) dan menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Tetapi nyatanya hakim tidak menggunakan kewenangan berdasarkan ketentuan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika malah menggunakan KUHP dan KUHAP sehingga penyalah guna dijatuhi hukuman penjara

Diskriminasi bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika atas dasar hukum yang berbeda tersebut, tergambar dalam direktori putusan MA, penyalah guna narkotika yang mendapat hukuman rehabilitasi pada umumnya para artis atau pesohor sedangkan mereka yang pasrah mendapat hukuman penjara.

PERAN PENTING FUNGSI REHABILITASI

UU narkotika memberi peran penting kepada Kementrian Kesehatan dan Kementrian sosial sebagai pengemban fungsi rehabilitasi penyalah guna narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi sebagai langkah preventif dan rehabilitasi sebagai output dari langkah represif.

Dalam rangka preventif, fungsi rehabilitasi dilaksanakan oleh rumah sakit dan  lembaga rehabilitasi yang ditunjuk sebagai IPWL baik milik swasta atau milik pemerintah.

Dalam rangka represif, fungsi rehabilitasi dilaksanakan oleh rumah sakit dan lembaga rehabilitasi MILIK PEMERINTAH yang ditunjuk sebagai IPWL khusus  sebagai tempat menjalani rehabilitasi atas perintah penyidik, penuntut umum dan hakim selama proses pemeriksaan serta atas putusan atau penetapan hakim 

Dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika secara medis dan yuridi, langkah preventif lebih baik dan lebih efisien dibandingkan dengan langkah represif.

Itu sebabnya UU narkotika, menafikan langkah penegakan hukum baik penangkapan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan dengan penjatuhan hukuman rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika kecuali penyalah gunanya berperan sebagai pengedar.

Model penanggulangan secara represif dengan alternatif hukuman rehanilitasi terhadap penyalah guna narkotika dinafikan karena berdasarkan penelitian para ahli, model penegakan disimpulkan tidak efisien dan menghamburkan sumberdaya penegakan hukum.

Oleh karena itu saya menyarankan agar pemegang kekuasaan negara menggunakan model prevention without punisment melalui kesukarelaan untuk melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL agar mendapat akses rehabilitasi (pasal 55) sekaligus menggugurkan status pidana penyalah guna narkotika (pasal 128/2).

Terhadap pengedarnya dijatuhi hukuman penjara dengan pemberatan, sekaligus dituntut dengan tindak pidana pencucian uang hasil kejahatannya, dilakukan pembuktiaan terbalik berdasarkan UU narkotika dan diputus jaringan peredarannya.

Salam anti penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika, people first, stop stigma and discrimination, strengten prevention dan hukum berat pengedarnya. 

***

*) Oleh: Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH. Ahli Hukum Narkotika, KA BNN RI 2012-2015 , Kepala Badan Narkotika, Korupsi dan Terorisme Partai Perindo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Writer :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Latest News

icon TIMES Singapore just now

Welcome to TIMES Singapore

TIMES Singapore is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.