Coffee TIMES

Bromo Sebagai Model Pengembangan Destinasi Wisata Baru

Monday, 02 March 2020 - 01:24
Bromo Sebagai Model Pengembangan Destinasi Wisata Baru Sigit Pramono.

TIMES SINGAPORE, JAKARTA – Sebagai pembuka tulisan ini, kami sangat mengapresiasi Pemerintah yang dengan sigap telah menerbitkan kebijakan insentif untuk mendukung sektor pariwisata. 

Hampir semua harapan pelaku pariwisata yang tersebar di berbagai tulisan dan pernyataan di berbagai media sudah  terpenuhi. Tinggal kita tunggu bersama bagaimana eksekusinya. 

Memang sering kali karena adanya ancaman bencana, krisis dan tekanan yang lainnya membuat kita terpaksa harus berpikir dan bekerja lebih keras , lebih cerdas, dan mampu menyusun prioritas. Ini hikmah yang muncul dari setiap kesulitan. Kita harus berterima kasih karena ada ancaman krisis global dan virus Corona. 

Pemerintah sudah mencanangkan program sangat bagus dalam pengembangan pariwisata yaitu dengan meluncurkan Program Pengembangan 10 Bali Baru, yaitu Toba,  Tanjung Lesung, Pulau Seribu, Borobudur, Mandalika, Bromo, Wakatobi, Labuan Bajo, dan Morotai. Setelah berjalan beberapa tahun dan  ternyata hasilnya belum nyata,  10 Destinasi Bali Baru diperas menjadi 5 Destinasi Super Prioritas.

Belajar dari pengalaman beberapa tahun terakhir,  seharusnya bisa dipahami bahwa mengembangkan destinasi wisata itu tidak bisa hanya mengandalkan inisiatif Pemerintah Pusat dengan membangun infrastruktur, prasarana dan sarana pariwisata saja.  Pengalaman menunjukkan, untuk pengembangan destinasi wisata, Pemerintah harus melibatkan dan memberdayakan banyak pihak. 

Lalu mengapa inisiatif destinasi wisata 10 Bali Baru belum membuahkan hasil?  Karena ada persoalan yang sangat mendasar.  Persoalan  yang mirip seperti yang  terjadi  di suatu perusahaan, yaitu pertentangan klasik  antara Bagian Produksi  dan Bagian Pemasaran. Dalam konteks produk pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bukan pemilik atau pengelola destinasi wisata. 

Mereka sama sekali tidak bisa menentukan seperti apa  produk pariwisata yang akan dijual, tetapi mereka harus mempromosikan dan menjualnya. Di sisi lain pemilik destinasi wisata itu yaitu umumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Taman Nasional ), Pemda, Perhutani, dan lainnya tidak mempunyai kompetensi yang memadai untuk mengembangkan dan menjual destinasi wisata.

Guna mengembangkan destinasi wisata,  sekurang-kurangnya harus melibatkan peran aktif beberapa pihak yakni pemerintah, pelaku usaha wisata swasta, masyarakat yang hidup di sekitar destinasi wisata, tokoh adat, budayawan, seniman dan para  "champion" pengembangan pariwisata di daerah itu. 

Dari pengalaman 5 tahun terakhir,  sudah saatnya Pemerintah membuat terobosan berupa program pengembangan pariwisata yang cepat menghasilkan (quick win) sembari terus mengerjakan pengembangan 10 Destinasi Wisata unggulan di atas. 

Saya mengusulkan agar program 'quick win' itu adalah Bromo. 
Mengapa Bromo? 

Bromo is the lowest hanging fruit.  
Ibarat sebuah pohon mangga manalagi dari  Probolinggo, Bromo itu adalah buah mangga yang tergantung di ranting paling bawah. Mudah sekali dipetik. 

Ini alasan mengapa Bromo disebut sebagai "the lowest hanging fruit"; 
1. Bromo adalah tempat kedua setelah Bali yang dituju oleh wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.
2. Bromo sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa buku petunjuk perjalanan ( travel guide) tentang Indonesia yang dijadikan buku pegangan semua turis yang ke Indonesia sampul depannya bergambar gunung Bromo.

Buku Petunjuk perjalanan ini diterbitkan oleh Lonely Planet, penerbit klas dunia untuk buku petunjuk perjalanan ke semua tempat di planet bumi. 

Sekali lagi foto sampul depan buku Travel Guide Indonesia adalah foto pemandangan Bromo. Bukan foto dari 9 destinasi yang lain.

Ini berarti biaya untuk mempromosikan Bromo sebagai destinasi wisata akan  paling murah dibandingkan destinasi yang lain. Karena Bromo sudah sangat terkenal.

3. Infrastruktur relatif sudah cukup baik dan tersedia. Akses menuju ke Bromo bisa melalui jalur udara mendarat di  Bandara Juanda Surabaya, atau Abdulrachman Saleh Malang. Dari kedua-dua bandara itu ke Bromo sekitar 2 jam.  Bromo juga bisa dijangkau lewat darat melalui jalan tol Trans Jawa keluar pintu tol Pasuruan atau Probolinggo. Dari pintu tol ke Bromo tinggal 30 menitan. Bromo bisa juga dicapai dengan naik Kereta Api turun di Setasiun Probolinggo. Dari setasiun ke Bromo sekitar 40 menit. 

Kalau dilihat dari fakta di atas, maka biaya yang harus dikeluarkan Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dalam mengembangkan pariwisata Bromo, tidak terlalu besar lagi. 
Tinggal diputuskan oleh Pemerintah untuk menjadikan Bromo sebagai program 'quick win' .

Pertanyaan berikutnya apakah di kawasan Bromo tidak perlu ada  perbaikan prasarana dan sarana pariwisata? Masih perlu. Ada  beberapa hal yang harus dikerjakan, yaitu:

1. Anggaran pengelolaan kawasan Bromo harus ditingkatkan dari sekitar Rp 1,5 miliar per tahun menjadi sejumlah minimal sama dengan 80% dari penerimaan tiket masuk per tahun. Ini sekaligus untuk mengembalikan hak konsumen (pengunjung) Bromo untuk mendapatkan layanan dan fasilitas yang sepadan dari yang dibayar,  termasuk ketersediaan toilet bersih dalam jumlah cukup.
Di samping itu tambahan dana diperlukan untuk menambah petugas yang menjaga kawasan Bromo termasuk petugas jaga wana (rangers).

Seperti diketahui untuk masuk ke kawasan Bromo, pengunjung harus membayar dari yang paling murah Rp 24 ribu ( wisatawan domestik, hari kerja) hingga yang paling mahal Rp 340 ribu ( wisatawan asing, hari libur). 

2. Memperbaiki sistem manajemen pengunjung dengan menerapkan:
- penjualan tiket lewat internet . Sistem yang sudah ada sekarang harus diperbaiki sehingga calon pengunjung lebih banyak beli tiket 'online'. 
- sistem pintu masuk terpadu dan 'online' pada 3 pintu masuk dari arah Probolinggo, Pasuruan, dan Malang.
- pengaturan kuota pengunjung pada saat jam favorit di titik pandang (view point) Penanjakan.
- Memindahkan pintu pengontrolan tiket menjauh dari posisi sekarang sehingga jika terjadi antrean panjang tidak terlalu dekat dengan kawasan Bromo.

Sistem yang dimaksud sebetulnya bukan sistem yang sulit dan mahal. Sistem itu mudah sekali diperoleh di pasar.

Alternatif lain, pihak TNBTS  bisa bekerjasama dengan Perbankan dan Jasa Marga, atau dengan pihak KAI yang mempunyai sistem sejenis yang dibutuhkan di Bromo. Jika sistem sekaligus bisa langsung transaksinya nir tunai tentu akan lebih baik.

3. Menyiapkan sistem dan personil yang tanggap dan efektif jika terjadi keadaan darurat dari mulai jika terjadi peningkatan status Bromo  hingga erupsi besar. Kita harus selalu  ingat bagaimanapun juga Bromo adalah gunung berapi aktif. 

Dalam hal ini tampaknya kita harus belajar lebih banyak dan lebih sungguh-sungguh kepada Amerika Serikat yang mampu mengelola gunung berapi aktif di Hawaii menjadi destinasi wisata yang menawan, aman dan nyaman pagi turis.

4. Membangun jalan kendaraan bermotor, dan harus menjadi satu-satunya jalan di kawasan laut pasir dan savana. Ini demi kepentingan jangka panjang yaitu  konservasi kawasan Bromo dan juga ketertiban karena selama ini semua kendaraan bisa bebas  seenaknya membuat jalur baru di laut pasir dan savana.
Jalan baru yang dimaksudkan  dibangun menyusuri tepian tebing bawah kawah purba, di laut pasir dan savana.  Jalan yang dibangun tidak perlu jalan aspal. Cukup jalan yang oleh masyarakat Tengger disebut jalan Makadam. Yaitu konstruksi jalan  tanah yang dipadatkan dan  dilapisi batu (Mac Adam's road construction).  

5. Membangun kantong-kantong parkir dan tempat dagang PKL di beberapa titik di jalan baru. 

6. Membenahi dan mengatur ulang pengelolaan kendaraan bermotor yang disewa pengunjung yang rutenya dari penginapan pengunjung, lewat laut pasir atau savana menuju titik pandang Penanjakan, Gunung Bromo, dan Savana. Kombinasi sistem kendaraan sewa penuh (charter)  dan ulang-alik (shuttle) perlu dipertimbangkan.

Semua upaya di atas harus dilakukan. Karena jika misalnya, rencana membangun kereta gantung di Bromo jadi dilakukan, akan terjadi ledakan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bromo. Menurut data TNBTS  pengunjung Bromo tahun 2019 sebanyak 690.831 orang dan tahun 2018 sebanyak 853.016 orang. Saya sendiri memperkirakan pengunjung Bromo jauh di atas angka TNBTS, karena itu hanya angka jumlah pengunjung yang membeli tiket. Masih banyak yang masuk Bromo tidak membeli tiket. Katakanlah kita ambil angka konservatif pengunjung Bromo sebanyak 1 juta orang. Bagaimana kondisi Bromo jika kehadiran kereta gantung menyebabkan peningkatan pengunjung 5 kali lipat menjadi 5 juta orang per tahun? 

Sekarang saja pada saat akhir pekan dan liburan Bromo sudah sangat semrawut, penuh polusi suara dan polusi udara, khususnya di area Penanjakan dan area toilet  parkir di  Poten. Manusia, mobil, sepeda motor, kuda bercampur menjadi satu dan seperti berebut ruang untuk bisa bernapas.

Mencermati apa yang sedang terjadi di Bromo dewasa ini, sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah serta semua pemangku kepentingan untuk menyiapkan Bromo dan manusia yang beraktivitas di sana, agar mampu mengatasi perubahan. Baik akibat perubahan kebijakan pemerintah, potensi kerusakan alam karena ulah manusia,  maupun karena bencana alam. 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadikan Bromo sebagai model program 'quick win', relatif akan lebih murah dibandingkan dengan jika mengembangkan 9 destinasi yang lain.

Jika demikian keadaannya, mengapa kita tidak memilih jalan  lebih mudah dan murah dengan memulai  membenahi Bromo?  Dalam satu hingga dua tahun ke depan Bromo dijadikan fokus model pengembangan, dan setelah itu kita jadikan sebagai contoh untuk  pengembangan 9 destinasi pariwisata yang lain.

Catatan lain yang harus diperhatikan dalam mengelola Bromo, ialah fakta bahwa kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1982. Sedangkan orang Tengger dan masyarakat lainnya sudah lama hidup menjadi petani dan mencari nafkah dari kegiatan pariwisata di Bromo jauh sebelum tahun 1982. Jadi apapun keputusan yang diambil untuk pengembangan pariwisata di Bromo sebaiknya  menyejahterakan orang Tengger dan masyarakat lainnya yang berada di kawasan Bromo.

Sebagai catatan penutup,  sejatinya saya mempunyai alasan lain yang sangat emosional,  mengapa saya sangat prihatin melihat Bromo sekarang ini. 

Saya kebetulan juga seorang fotografer lanskap. Dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun kerusakan alam Bromo sudah sangat mengkhawatirkan. Sekarang ini, di kawasan laut pasir dan savana, saya sudah tidak bisa menemukan dan memotret lagi gundukan pasir indah yang dibentuk angin, savana yang hijau, utuh dan damai, serta  bentukan batu vulkanik menyerupai singa, seperti 15 tahun yang lalu.  

Ini sekaligus menjadi bukti bahwa sebagian besar kita ternyata  memperlakukan Bromo sebagai warisan nenek moyang yang bisa kita eksploitasi habis-habisan. Alangkah arifnya jika bisa kita ubah cara kita memperlakukan Bromo. Sudah selayaknya kita  perlakukan Bromo dan semua kekayaan alam kita sebagai pinjaman dari anak cucu kita, yang kita harus kembalikan secara utuh kepada mereka. 

 

*) Penulis Sigit Pramono Pelaku dan Pemerhati Pariwisata

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

Writer :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Latest News

icon TIMES Singapore just now

Welcome to TIMES Singapore

TIMES Singapore is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.