Coffee TIMES

Apakah Revisi RUU Pemasyarakatan Mempermudah Para Koruptor untuk Mendapatkan Hak Bersyarat?

Sunday, 19 January 2020 - 20:22
Apakah Revisi RUU Pemasyarakatan Mempermudah Para Koruptor untuk Mendapatkan Hak Bersyarat? Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H.

TIMES SINGAPORE, JEMBER – Penghujun tahun lalu, media dihebohkan dengan atmosfer Gedung Paripurna DPR yang disinyalir mengembuskan angin segar bagi para koruptor untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat dengan lebih mudah setelah DPR dan Pemerintah menyepakati substansi Ketentuan Peralihan yang salah satunya ialah menerminasi kebijakan PP. 99 Tahun 2012. Menjadi pertanyaan khalayak umum, patutkah informasi tersebut sampai menjadikan masyarakat memodifikasi perilakunya untuk menjadi masyarakat yang antipati dan resistensi dengan kebijakan revisi RUU Pemasyarakatan ini?

Dalam kesempatan ini, dengan hormat perkenankan penulis membagikan perspektifnya dalam bentuk narasi singkat. Kesempatan ini juga menjadi kans untuk lebih memasyarakatkan institusi Pemasyarakatan yang masih dianggap sebagai institusi Kepenjaraan.

Memahami institusi Pemasyarakatan yang salah satu fungsinya sebagai “Pelaksana Pidana“ dalam Integrated Criminal Justice System

Konsensus internasional dalam International Prison Policy Development Instrument 1 s Edition (ICCLR, 2001), disebutkan, “Corrections is that component of the criminal justice system, which has greatest impact on the freedoms, liberties, and right of individuals......” (1) Penjelasan simposium internasional yang dilaksanakan di Canada dan Polandia (1991 dan 1993) yang diselenggarakan oleh The United Nations Centre for International Crime Prevention menegaskan bahwa Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang menyuguhkan kehidupan sosialis di masyarakat dengan menjamin kebebasan, kemerdekaan, dan hak-hak setiap individu.

Selanjutnya, dalam Konferensi Djawatan Kependjaraan Lembang-Bandung 1964, disebutkan “Pemasjarakatan, terutama sebagai alat revolusi sebagaimana dapat dilihat dari uraian2 tersebut dimuka, adalah salah satu usaha dalam Nation dan Character Building. Kedudukan dari Pemasjarakatan dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pengedjawantahan keadilan (administration of justice), dan lebih chusus lagi dalam bidang tata-urusan perlakuan dari mereka jang karena mengingkari tata-tertib masjarakat dengan keputusan Hakim dibawah pengawasan atau perawatan/asuhan pemerintah.” (2) Hal tersebut tertuang dalam bagian kesatu mengenai Dasar, Tudjuan, dan Kedudukan Pemasjarakatan.

Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan pelindungan terhadap hak tahanan dan anak serta meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggung jawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta sekaligus memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana.

Sistem Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem perlakuan terhadap tahanan, anak, dan Warga Binaan dilaksanakan melalui fungsi Pemasyarakatan yang meliputi Pelayanan, Pembinaan, Pembimbingan Kemasyarakatan, Perawatan, Pengamanan, dan Pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Hal ini sesuai dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

Dari konsensus tersebut, dapat dipahami bahwa Pemasyarakatan merupakan tujuan pemidanaan yang salah satu fungsinya sebagai institusi yang melaksanakan pidana di Indonesia sesuai dengan keputusan hakim dalam proses ajudikasi. Pemasyarakatan juga merupakan bagian dari sistem peradilan pidana terpadu yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap Tahanan, Anak, dan Warga Binaan dengan konsep Pemasyarakatan.

Pembebasan Bersyarat Merupakan Hak Bersyarat, Bukan Hak Dasar

Dalam RUU Pemasyarakatan, sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan pelindungan terhadap hak tahanan dan anak serta meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggung jawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan serta sekaligus memberikan pelindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana.

Seyogyanya, hak bersyarat narapidana merupakan hak yang sifatnya alternatif. Dalam artian, hak tersebut bisa didapatkan oleh narapidana dengan catatan narapidana telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali penilaian dari petugas pembinaan.

Bentuk dari hak bersyarat yang diatur dalam RUU Pemasyarakatan yakni remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti bersyarat, cuti mengunjungi keluarga atau dikunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam perspektif operasionalnya, perlakuan terhadap narapidana pun harus didasarkan pada asas-asas Pemasyarakatan, yang salah satunya adalah non-diskriminasi. Asas non-diskriminasi mengarah pada pelaksanaan sistem Pemasyarakatan yang tidak membedakan perlakuan atas dasar suku, ras, agama, etnik, kelompok, golongan, politik, status sosial dan ekonomi, dan jenis kelamin.

Berbeda dengan hak dasar. Hak dasar memiliki terminologi yang berbeda dengan hak bersyarat. Hak dasar narapidana berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas diri narapidana sebagai manusia yang mengalami disharmoni hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupannya.

Hak dasar tersebut antara lain menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani; mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional serta kesempatan mengembangkan potensi; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai dengan kebutuhan gizi; mendapatkan layanan informasi; mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum; menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang; mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental; mendapatkan jaminan keselamatan kerja, upah, atau premi hasil bekerja; mendapatkan pelayanan sosial; dan menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat (Pasal 9 RUU Pemasyarakatan). 

Dalam pelaksanaan hak dasar, tidak ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh narapidana untuk mendapatkannya. Dari komparasi ini dapat diambil kesimpulan bahwa pembebasan bersyarat atau hak bersyarat lainnya jelas berbeda dengan hak dasar. Pembebasan bersyarat atau hak bersyarat lainnya tidak semerta-merta diberikan kepada narapidana. Petugas Pemasyarakatan memiliki kewenangan untuk menentukan layak atau tidaknya narapidana mendapatkan hak bersyarat sesuai dengan pemenuhan persyaratan administratif atau substantif yang diatur dalam PP. Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Lantas, pantaskah apabila dalam proses pelaksanaan pidana masih diberikan penambahan hukuman?

Setelah banyak media yang memberitakan bahwa RUU Pemasyarakatan ini mendukung para koruptor untuk mendapatkan hak bersyarat dalam bentuk pembebasan bersyarat. Sekali lagi perlu dijelaskan, bahwa hak pembebasan bersyarat berlaku pada proses pelaksanaan pidana (tahap pascaadjudikasi), yang mana proses ini fokus terhadap implementasi kebijakan koreksional melalui proses pembinaan  bagi narapidana.

Dari penjelasan di atas, maka tidak bijak apabila proses pembinaan yang seharusnya dilakukan dengan prinsip-prinsip Pemasyarakatan kemudian masih ditambahkan penghukuman berupa pencabutan hak pembebasan bersyarat atau hak bersyarat lainnya.

Lantas lagi, bukankah hal tersebut berarti meringankan koruptor dalam menjalani putusan pidananya?

Dalam diskusi ini, kebijaksanaan pola berfikir sebagai manusia yang dikaruniai akal sehat dapat dikatakan sedang diuji. Merujuk pada Pasal 72 ayat (1) huruf a RUU KUHP, dijelaskan bahwa hakim memiliki kewenangan menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu bagi pembuat tindak pidana dan penjatuhan pidana dilaksanakan pada proses adjudikasi, bukan pascaadjudiakasi, hal ini yang harus digarisbawahi. 

Premis ini mengafirmasi bahwa RUU Pemasyarakatan tidak berkoalisi dengan kepentingan politik para koruptor. Pada akhirnya, apabila dalam putusan terdakwa koruptor disertakan pencabutan hak tertentu berupa tidak diberikannya hak pembebasan bersyarat, tidak ragu lagi Pemasyarakatan tidak akan memberikan hak pembebasan bersyarat bagi terdakwa koruptor tersebut sekalipun persyaratan untuk mendapatkan hak bersyaratnya telah terpenuhi, karena (sekali lagi) kedudukan Pemasyarakatan yang salah satu fungsinya sebagai institusi pelaksana pidana. (*)

*) Penulis, Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H. (PJFU pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Jember) Kementerian Hukum dan HAM

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

Keterangan Pustaka

1. Brian Tkachuk ICCLR, “International Prison Policy Development Instrument 1st Edition”, Canada, 2001, hlm. 4 (Bagian Towards Improved Corrections.

2. Andi Wijaya Rivai, Buku Dokumenter : Konperensi Djawatan Kepenjaraan Lembang-Bandung 1964, Bandung, 2016, hlm. 17

Writer :
Editor : Dody Bayu Prasetyo
Tags

Latest News

icon TIMES Singapore just now

Welcome to TIMES Singapore

TIMES Singapore is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.